Jangan menyeret dalil kepada kehendakmu! Jadikanlah kehendakmu mengikuti dalil!
Penyakit yang menghinggapi kebanyakan orang ketika terjadi fitnah adalah tidak berserah diri kepada nash-nash dan tidak mengembalikan kehendak-kehendak mereka kepada nash-nash. Bahkan sebaliknya, mereka justru menyeret nash-nash kepada kehendak-kehendak mereka; jika datang nash yang menyelisihi hawa-hawa nafsu mereka maka mereka mengatakan “ini termasuk musytabihāt ”, maka mereka meninggalkannya atau menyelewengkan maknanya, padahal Allah Ta‘ālá telah berfirman:
ﻭَﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻟِﻤُﺆْﻣِﻦٍ ﻭَﻟَﺎ ﻣُﺆْﻣِﻨَﺔٍ ﺇِﺫَﺍ ﻗَﻀَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟُﻪُ ﺃَﻣْﺮًﺍ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﻟَﻬُﻢُ ﺍﻟْﺨِﻴَﺮَﺓُ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِﻫِﻢْ ۗ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻌْﺺِ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟَﻪُ ﻓَﻘَﺪْ ﺿَﻞَّ ﺿَﻠَﺎﻟًﺎ ﻣُﺒِﻴﻨًﺎ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. {QS al-Aẖzāb (33):36}
Allah Ta‘ālá juga berfirman:
ﻓَﻠَﺎ ﻭَﺭَﺑِّﻚَ ﻟَﺎ ﻳُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﺣَﺘَّﻰٰ ﻳُﺤَﻜِّﻤُﻮﻙَ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺷَﺠَﺮَ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺛُﻢَّ ﻟَﺎ ﻳَﺠِﺪُﻭﺍ ﻓِﻲ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻬِﻢْ ﺣَﺮَﺟًﺎ ﻣِﻤَّﺎ ﻗَﻀَﻴْﺖَ ﻭَﻳُﺴَﻠِّﻤُﻮﺍ ﺗَﺴْﻠِﻴﻤًﺎ
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. {QS an-Nisā’ (4):65}
Syaikhul-Islam Ibnu Taimīyah berkata: “Maka seorang hamba membutuhkan dihilangkannya dari dirinya dua perkara: pemikiran-pemikiran yang rusak dan hawa-hawa nafsu yang rusak, hingga dia mengetahui bahwa hikmah dan keadilan di dalam apa-apa yang sesuai dengan ilmu Allah dan hikmah-Nya, bukan yang sesuai dengan ilmu seorang hamba dan hikmahnya, dan hendaknya keinginannya mengikuti apa yang Allah perintahkan, hingga tidak ada hawa nafsu yang menyelisihi perintah Allah dan hukum-Nya.” { Majmū‘ al-Fatāwá 10:288}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar